
Oleh: Jayana Rifaldi
Sebagai seorang santri, saya merasakan betapa beratnya amanah yang diemban generasi kami. Tema Hari Santri tahun 2025, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia,” bukan sekadar slogan seremonial. Tema ini merupakan cerminan perjalanan panjang kaum santri yang telah membuktikan diri sebagai tulang punggung bangsa, dari medan pertempuran fisik hingga arena kontestasi peradaban global di era digital.
Dari Resolusi Jihad hingga Revolusi Digital, Setiap kali saya membaca sejarah, hati saya bergetar mengingat pengorbanan para pendahulu kami. Perjalanan kaum santri dimulai dari momen heroik 22 Oktober 1945, ketika KH Hasyim Asy’ari—seorang ulama besar yang juga guru para guru kami—mengeluarkan Resolusi Jihad yang menyerukan perlawanan terhadap kolonialisme. Fatwa ini menjadi api perjuangan dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945, di mana santri bertempur dengan bambu runcing dan keberanian luar biasa. Mereka bukan hanya berjuang dengan senjata, tetapi dengan ideologi kemerdekaan yang berakar pada keyakinan spiritual.
Saya sering bertanya pada diri sendiri: apakah kami, santri masa kini, memiliki keberanian yang sama? Apakah kami siap berkorban untuk bangsa seperti para pendahulu kami?
Pasca kemerdekaan, peran santri bertransformasi. Pesantren tidak lagi hanya mencetak pejuang bersenjata, tetapi melahirkan tokoh-tokoh nasional, ulama, cendekiawan, dan penggerak perubahan sosial. Era Orde Lama dan Orde Baru menjadi periode di mana santri terus mempertahankan nilai-nilai kebangsaan, meski dalam dinamika politik yang kompleks.
Memasuki era reformasi, santri semakin menunjukkan peran signifikan dalam demokratisasi dan moderasi beragama. Organisasi seperti NU tempat banyak dari kami belajar dan berkhidmat menjadi mercusuar toleransi dan kebhinekaan di tengah arus radikalisasi global.
Kini, di era digital 2025, kami para santri menghadapi medan jihad yang berbeda: melawan hoaks, ekstremisme digital, dan kemunduran nilai-nilai kemanusiaan di ruang maya. Sebagai santri milenial dan Gen Z, kami membuktikan bahwa pesantren mampu beradaptasi menguasai teknologi tanpa kehilangan ruh spiritualitas yang diajarkan para kyai kami.
Sebagai santri, saya memahami bahwa “Mengawal Indonesia Merdeka” berarti kami harus terus menjadi garda terdepan dalam menjaga NKRI, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ini bukan pilihan, tetapi kewajiban yang mengalir dalam darah kami, warisan dari para guru yang mengajarkan bahwa hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman).
Ancaman kemerdekaan hari ini bukan hanya datang dari luar, tetapi dari dalam: perpecahan sosial, intoleransi, ketidakadilan ekonomi, dan krisis moral. Di sinilah kami, para santri, harus hadir sebagai penyejuk, sebagai perekat, sebagai obor yang menerangi kegelapan.
Kami memiliki modal kuat untuk peran ini: pendidikan karakter yang kokoh dari pesantren, jaringan sosial yang masif, dan legitimasi spiritual yang dihormati masyarakat. Alhamdulillah, pesantren telah menjadi benteng moderasi Islam, tempat di mana nasionalisme dan spiritualitas berpadu harmonis. Inilah yang setiap hari kami pelajari dan kami praktikkan.
Frasa “Menuju Peradaban Dunia” awalnya terdengar sangat berat bagi saya. Bagaimana mungkin kami, santri dari berbagai pelosok negeri, bisa berkontribusi pada peradaban dunia? Namun, semakin saya merenungkan, semakin saya yakin bahwa ini adalah panggilan yang realistis.
Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan tradisi pesantren yang moderat, memiliki soft power luar biasa. Kami, para santri, dapat menjadi duta Islam wasathiyah (moderat) yang menyebarkan nilai-nilai rahmat bagi semesta. Di era digital, santri yang menguasai literasi digital, bahasa asing, dan pengetahuan global dapat menjadi jembatan peradaban.
Saya melihat sendiri bagaimana teman-teman santri telah membuktikannya: ada yang menjadi akademisi di universitas terkemuka dunia, entrepreneur sukses yang memberdayakan ekonomi umat, aktivis kemanusiaan internasional, hingga kreator konten yang menyebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Ini membuktikan bahwa santri tidak kalah dengan siapapun.
Namun, saya harus jujur, perjalanan ini tidak tanpa tantangan. Sebagai santri di era digital, kami menghadapi pergulatan yang kompleks:
Disrupsi Teknologi: Pesantren harus bertransformasi menjadi lembaga yang tech-savvy tanpa kehilangan identitas. Kami harus belajar coding, desain grafis, digital marketing—sambil tetap menghafalkan Al-Qur’an dan mendalami kitab kuning. Ini berat, tetapi kami yakin bisa.
Narasi Negatif: Santri sering dipersepsikan konservatif dan anti-modernitas. Padahal, jika melihat sejarah dan realitas kami, santri adalah agen perubahan progresif. Narasi ini harus kami luruskan melalui prestasi nyata, bukan hanya retorika.
Kesenjangan Ekonomi: Banyak pesantren, terutama di daerah terpencil, masih kekurangan fasilitas. Saya pernah mengajar di pesantren yang tidak memiliki listrik memadai, apalagi internet. Investasi dalam infrastruktur pesantren adalah investasi masa depan bangsa.
Ekstremisme Digital: Algoritma media sosial sering mempromosikan konten ekstrem. Kami, para santri, harus menjadi counter-narrative yang massif dan persuasif. Ini jihad kami di era digital.
Dari pengalaman saya sebagai santri yang terus belajar, saya merekomendasikan beberapa langkah strategis:
Penguatan Literasi Digital: Setiap pesantren harus memiliki program literasi digital yang sistematis. Kami tidak hanya mengonsumsi, tetapi harus memproduksi konten positif yang mencerahkan.
Kolaborasi Global: Pesantren harus membuka diri untuk pertukaran pelajar dan kerjasama dengan lembaga pendidikan internasional. Kami harus berani keluar dari zona nyaman.
Entrepreneurship Santri: Mengembangkan ekonomi pesantren melalui kewirausahaan sosial yang berdampak luas. Santri harus mandiri secara ekonomi agar bisa lebih bebas berkhidmat.
Keterlibatan Publik: Kami, santri, harus lebih vokal dalam isu-isu publik: lingkungan, korupsi, ketidakadilan, dengan tetap menjaga etika dan adab yang telah diajarkan para kyai.
Penutup
Delapan puluh tahun sejak Resolusi Jihad 1945, api perjuangan santri tak pernah padam. Sebagai santri generasi penerus, saya merasakan api itu menyala di dada kami. Yang berubah hanya bentuk perjuangan: dari bambu runcing ke keyboard, dari medan perang ke ruang kelas dan media sosial, dari mempertahankan kemerdekaan fisik ke membangun peradaban yang berkeadilan.
Hari Santri 2025 mengingatkan kami bahwa perjuangan belum selesai. Selama masih ada ketidakadilan, kebodohan, dan kemunduran moral, kami para santri memiliki tugas suci untuk terus berjihad—dengan ilmu, dengan karya, dengan kasih sayang, dan dengan keteladanan.
Mengawal Indonesia merdeka adalah amanah sejarah yang kami terima dari tangan para pendahulu. Menuju peradaban dunia adalah cita-cita mulia yang kami wariskan untuk generasi selanjutnya. Keduanya hanya mungkin kami wujudkan jika kami tetap setia pada prinsip dasar: iman yang kokoh, ilmu yang luas, dan amal yang nyata.
Saya bangga menjadi santri. Saya bangga menjadi bagian dari sejarah panjang perjuangan ini. Dan saya berkomitmen untuk terus belajar, terus berkarya, dan terus mengabdi untuk Indonesia dan peradaban dunia.
Selamat Hari Santri 2025. Jayalah Santri Indonesia!
Ditulis dengan penuh kerendahan hati oleh seorang santri yang masih terus belajar menuntut ilmu dan mengabdi kepada bangsa.

Tidak ada komentar