
Oleh: Jayana Rifaldi
Refleksi dari Sudut Pandang Seorang Santri
Kontroversi tayangan “Xpose Uncensored” Trans7 tentang Pondok Pesantren Lirboyo bukan sekadar persoalan teknis jurnalistik atau pelanggaran etika media. Ini adalah cerminan dari kesenjangan pemahaman yang mendalam antara dunia media modern dengan tradisi dan nilai-nilai pesantren yang telah mengakar ratusan tahun. Sebagai seorang santri, saya melihat tayangan tersebut sebagai bentuk reduksi brutal terhadap sistem nilai yang menjadi fondasi pendidikan dan spiritualitas jutaan santri di Indonesia.
Memahami Relasi Santri-Kiai: Bukan Eksploitasi, Melainkan Penghormatan
Tayangan Trans7 yang menyoroti santri “jongkok saat minum susu” dan “memberi amplop kepada kiai” dengan narasi yang bernada eksploitatif menunjukkan ketidakpahaman fundamental tentang esensi hubungan santri-kiai dalam tradisi pesantren.
Kultur Tawadhu’ (Rendah Hati)
Jongkok saat minum atau makan di hadapan kiai bukanlah bentuk perendahan diri yang memalukan, melainkan manifestasi dari nilai tawadhu’ yang menjadi ruh pendidikan pesantren. Dalam pandangan santri, sikap merendah di hadapan guru bukan menunjukkan inferioritas, tetapi justru menunjukkan kedewasaan spiritual dan pemahaman tentang adab (etika).
Tradisi ini mengajarkan bahwa ilmu tidak akan masuk ke dalam hati yang sombong. Santri yang duduk jongkok atau berjalan membungkuk di hadapan kiai sedang mempraktikkan ajaran bahwa menuntut ilmu memerlukan kerendahan hati. Ini bukan tentang status sosial, melainkan tentang posisi spiritual dan intelektual sebagai murid yang senantiasa merasa haus akan ilmu.
Makna Amplop: Dari Barokah ke Berbagi
Praktik memberikan amplop kepada kiai yang digambarkan Trans7 sebagai bentuk eksploitasi adalah interpretasi yang sangat keliru dan menyakitkan. Dalam tradisi pesantren, memberikan sesuatu kepada guru (sowan dengan membawa oleh-oleh atau amplop) memiliki makna filosofis yang dalam:
Media massa sering gagal memahami posisi kiai dalam ekosistem pesantren dan masyarakat. Kiai bukan hanya guru agama atau pemuka spiritual, tetapi merupakan figur multidimensional:
Kiai mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengajar, tidak mengenal waktu kerja 8 jam sehari atau libur akhir pekan. Santri bisa mengakses kiai hampir 24 jam untuk bertanya tentang persoalan agama, kehidupan, bahkan masalah pribadi. Pengabdian ini tidak diperhitungkan dengan upah bulanan atau tunjangan kinerja.
Kiai adalah mata rantai sanad (rantai transmisi) keilmuan Islam yang bersambung hingga Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak hanya mengajarkan teks-teks klasik, tetapi juga menjaga hidup dan relevansi tradisi intelektual Islam yang telah berusia lebih dari 1400 tahun.
Agen Transformasi Sosial, Di tengah masyarakat, kiai sering menjadi rujukan dalam berbagai persoalan: mediator konflik, pembimbing moral, bahkan penggerak ekonomi lokal. Banyak kiai yang menggunakan sumber dayanya untuk membangun infrastruktur sosial, memberikan beasiswa, atau membantu warga yang kesulitan ekonomi.
Figur Zuhud yang Hidup Sederhana, Ironi dari tuduhan “kiai kaya raya” adalah kenyataan bahwa mayoritas kiai hidup sangat sederhana. Mereka memilih hidup zuhud (tidak terikat pada kemewahan dunia) meskipun memiliki potensi ekonomi yang besar. Rumah kiai sering kali justru lebih sederhana dari rumah santri atau alumni yang telah sukses.
Budaya Pesantren: Sistem Nilai yang Utuh, Pesantren bukan hanya institusi pendidikan, tetapi komunitas yang hidup dengan sistem nilai yang utuh dan koheren:
Pendidikan Holistik, Pesantren mendidik santri secara komprehensif: intelektual (ilmu agama dan umum), spiritual (akhlak dan ibadah), sosial (kemampuan berinteraksi dan melayani masyarakat), dan keterampilan praktis. Ini berbeda dengan pendidikan formal yang sering terfragmentasi.
Kemandirian dan Kesederhanaan, Santri belajar hidup mandiri sejak dini: mencuci pakaian sendiri, memasak, mengatur waktu, mengelola keuangan terbatas. Kehidupan yang sederhana ini bukan karena kemiskinan, tetapi filosofi pendidikan yang mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak terletak pada materi.
Solidaritas dan Kesetaraan, Di pesantren, anak menteri dan anak tukang becak tidur di kamar yang sama, makan dari piring yang sama, belajar di kelas yang sama. Tidak ada stratifikasi sosial berdasarkan latar belakang ekonomi atau status orang tua.
Jiwa Mengabdi, Pesantren menanamkan bahwa ilmu harus diamalkan untuk kepentingan umat. Inilah mengapa alumni pesantren banyak yang memilih profesi sebagai guru, da’i, atau aktivis sosial meskipun secara ekonomi tidak menguntungkan.
Mengapa Santri Terluka?
Reaksi keras santri dan alumni terhadap tayangan Trans7 bukan berlebihan atau intoleran terhadap kritik. Ada beberapa alasan mendasar:
Penyederhanaan yang Menyakitkan, Tayangan tersebut mereduksi relasi kompleks dan penuh makna antara santri-kiai menjadi narasi eksploitasi dan pemujaan buta. Ini seperti menjelaskan cinta ibu kepada anak sebagai “ketergantungan emosional” atau “kontrol psikologis”—secara teknis mungkin ada elemen itu, tetapi kehilangan esensi yang jauh lebih dalam.
Stigmatisasi Budaya Hormat, Dengan mengejek sikap hormat santri kepada kiai, media seolah mengatakan bahwa menghormati guru adalah sikap kuno, feodal, dan perlu ditinggalkan. Padahal, krisis moral dan pendidikan di masyarakat modern justru banyak bersumber dari hilangnya nilai hormat kepada guru dan orang tua.
Ancaman terhadap Sistem Nilai, Santri khawatir narasi negatif ini akan mengikis kepercayaan generasi muda terhadap sistem pendidikan pesantren. Jika relasi santri-kiai dipahami sebagai eksploitasi, maka fondasi transmisi ilmu dan nilai-nilai Islam akan terancam.
Pengabaian Kontribusi Pesantren, Pesantren telah berkontribusi besar dalam sejarah pendidikan, perjuangan kemerdekaan, moderasi beragama, dan pembangunan karakter bangsa. Tayangan yang hanya menyoroti aspek kontroversial tanpa konteks sejarah dan sosial adalah bentuk ketidakadilan.
Tanggung Jawab Media, Media massa memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik. Dengan kekuatan itu datang tanggung jawab moral:
Riset yang Mendalam Sebelum membuat program tentang komunitas atau tradisi tertentu, jurnalis seharusnya melakukan riset mendalam, wawancara dengan banyak narasumber, dan memahami konteks historis dan kultural.
Menghindari Sensasionalisme, Judul dan narasi yang provokatif mungkin mendatangkan rating tinggi dalam jangka pendek, tetapi merusak kepercayaan publik dan menyakiti komunitas tertentu.
Memberi Ruang untuk Suara Komunitas, Ketika membuat liputan tentang pesantren, libatkan santri, kiai, dan alumni untuk memberikan perspektif dari dalam. Jangan hanya mengandalkan pandangan outsider yang mungkin bias atau tidak lengkap.
Kesediaan Belajar dan Mengakui Kesalahan Ketika mendapat kritik dari komunitas yang diliput, media harus terbuka untuk belajar dan dengan tulus meminta maaf jika memang ada kesalahan. Ini bukan tanda kelemahan, tetapi profesionalisme.
Kontroversi ini seharusnya menjadi momentum untuk membangun dialog yang lebih baik antara dunia media modern dan tradisi pesantren. Santri perlu lebih proaktif dalam menjelaskan nilai-nilai dan praktik pesantren kepada publik luas. Sementara itu, media perlu lebih humble dan mau belajar sebelum membuat penilaian tentang tradisi yang telah berusia berabad-abad.
Pesantren dengan segala kekurangan dan keterbatasannya telah membuktikan diri sebagai lembaga yang tangguh, relevan, dan terus berkontribusi bagi bangsa. Alih-alih menghakimi dengan dangkal, mari kita coba memahami dengan lebih dalam sebelum berbicara tentang sesuatu yang telah menjadi jati diri jutaan orang Indonesia.
Sebagai seorang santri, saya berharap tayangan Trans7 bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak: bahwa dalam era informasi yang begitu cepat ini, kebijaksanaan dan kehati-hatian dalam berbicara tentang nilai dan tradisi orang lain adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Wallahu a’lam bishawab – Dan Allah lebih mengetahui yang benar.

Tidak ada komentar