
Oleh: Hariz A’Rifa’i, S.Pd., M.I.Kom
Merujuk pada unggahan akun Instagram Narasi tv yang menjelaskan tentang distorsi makna “anarki”, saya merasa perlu ikut mengangkat hal ini dalam konteks yang lebih luas. Di tengah maraknya gejolak sosial beberapa waktu terakhir, kita kembali menyaksikan bagaimana istilah “anarkis” dilempar ke publik tanpa pemahaman yang utuh. Kata itu meluncur begitu mudah dari mikrofon aparat, headline media, hingga kolom komentar warganet—seolah menjadi label sakti untuk siapa pun yang dianggap “mengganggu ketertiban”.
Masalahnya bukan hanya pada penyematan istilah, tetapi pada bias dan ketidaktahuan yang dibawanya. Kita lupa, atau mungkin memang tidak pernah tahu, bahwa “anarkisme” adalah sebuah ideologi politik yang sah dan memiliki akar pemikiran panjang. Ia bukan tentang membakar, merusak, atau menghancurkan. Ia berbicara tentang kebebasan dari dominasi, tentang masyarakat tanpa otoritas yang menindas. Nama-nama seperti Mikhail Bakunin, Emma Goldman, hingga Noam Chomsky bisa jadi asing di telinga publik kita, tapi mereka adalah pemikir serius yang mempersoalkan kekuasaan negara—bukan pemicu kekacauan jalanan.
Tapi semua itu tak terdengar dalam narasi arus utama.
Setiap kali ada aksi massa yang berujung ricuh, media dan pejabat publik dengan sigap menyebutnya “aksi anarkis”. Tak ada perbedaan antara demonstrasi damai yang disusupi, kericuhan akibat provokasi, atau tindakan individu yang marah karena frustrasi. Semuanya digulung dalam satu istilah: anarkis. Dampaknya, terjadi delegitimasi terhadap gerakan sosial. Kritik terhadap kebijakan negara dipukul rata sebagai tindakan destruktif.
Distorsi ini bukan sekadar salah kaprah bahasa. Ia punya konsekuensi politik. Dengan menyamakan anarkisme dengan kerusuhan, negara mendapat ruang untuk membenarkan tindakan represif. Sementara media, alih-alih memperjelas, justru ikut memperkuat narasi kekuasaan. Mereka yang turun ke jalan dianggap kriminal, tanpa ada upaya memahami latar belakang kemarahan mereka. Bahkan, ketika sebagian dari mereka hanya membawa poster dan teriakan, bukan batu atau bom molotov.
Di titik ini, kita perlu mempertanyakan ulang peran media dalam membentuk opini publik. Apa tugas media ketika kata “anarkis” dilontarkan sembarangan oleh pejabat? Apakah cukup dengan menyalin pernyataan lalu menayangkannya? Di mana letak tanggung jawab editorial untuk memastikan publik mendapatkan konteks yang benar? Dan kenapa istilah yang punya sejarah panjang dan pemikiran serius dibiarkan direduksi jadi sekadar sinonim untuk “perusuh”?
Kebingungan ini diperparah oleh rendahnya literasi politik di masyarakat kita. Banyak yang terbiasa menilai sesuatu hanya dari tampilan luar atau berdasarkan narasi mayoritas. Tak heran, ketika ada kelompok dengan simbol “A” dalam lingkaran, kita langsung takut. Padahal belum tentu mereka sedang merencanakan kekacauan. Bisa jadi mereka sedang membicarakan distribusi pangan alternatif, koperasi kolektif, atau sekadar membaca ulang The Conquest of Bread.
Tentu, ini bukan pembelaan terhadap aksi kekerasan. Tindakan merusak fasilitas publik tetap harus diproses secara hukum. Tapi yang keliru adalah ketika kritik politik atau demonstrasi—yang sah dalam demokrasi—disamaratakan sebagai tindakan anarkis. Kita butuh pembacaan yang lebih adil dan teliti, baik dari negara, media, maupun masyarakat.
Karena kalau kita terus latah menghakimi, terus menyamaratakan semua bentuk perlawanan sebagai kekacauan, maka kita bukan hanya keliru memahami istilah—kita sedang membunuh ruang demokrasi itu sendiri. Kita jadi takut berpikir berbeda, takut menyuarakan ketimpangan, takut mempertanyakan sistem.
Dan mungkin itu memang tujuannya.

Tidak ada komentar